Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Agustus 2018

Stereotipikal dalam Novel “Bunga Roos dari Cikembang” Oleh Fitrian Eka Paramita


Bunga Roos dari Cikembang merupakan roman karya seorang sastrawan Melayu Tionghoa bernama Kwee Tek Hoay (KTH). Sekilas, roman ini terlihat sperti roman percintaan biasa antara Nyai dan tuannya yang dibumbui dengan perkawinan paksa yang mewarnai kisah cinta ketiga tokoh dalam novel ini (Ay Tjeng, Marsiti, dan Gwat Nio). Namun, jika diteliti lebih lanjut, maka ada gagasan lain yang dituangkan oleh KTH yaitu Ia ingin mengangkat derajat Nyai yang selalu lekat dengan stereotip-stereotip yang menjadikannya sosok yang sangat hina dalam masyarakat.

Prasangka yang subyektif dan belum tentu kebenarannya merupakan suatu gejala social yang selalu mewarnai kehidupan bermasyarakat. Ada dua hal dalam Roman Bunga Roos dari Cikembang ini yang mengandung stereotip terhadap sosok perempuan dari golongan dan status tertentu yang coba diangkat dan diketengahkan oleh KTH. Maka tulisan ini akan menggambarkan bagaimana KTH mengangkat dan menanggapi stereotip-stereotip yang berkembang dalam masyarakat pada masa itu.

Pertama, KTH mencoba mengangkat stereotip yang melekat pada perempuan Sunda dengan menghadirkan tokoh Marsiti. Marsiti adalah wanita berdarah Sunda yang dijadikan Nyai oleh Ay Tjeng seorang administrator perkebunan karet di daerah Gunung Mulia. Keduanya pun saling mencintai sehingga Ay Tjeng ingin menjadikan Marsiti sebagai istri yang sah. Namun, kasih sayang Ay Tjeng kepada Marsiti ditentang oleh ayahnya yang menganggap bahwa perempuan Sunda adalah perempuan yang pandai mengguna-guna, materialistis dan terkenal sebagai perempuan yang paling tidak setia.

“…. Maka janganlah kau kasih hatimu kerna dijebak oleh prampuan begitu, apalagi perempuan Sunda memang dari dulu sudah terkenal pande kongtauw dan mengeret, dan tersohor sabagi prampuan yang paling tidak setia di seantero Indonesia.”

Namun tokoh Marsiti yang dihadirkah oleh KTH bertolak belakang dengan subjektifitas tersebut. Marsiti digambarkan sebagai wanita yang memiliki cinta dan pengabdian yang tulus kepada tuannya, ia begitu setia kepada tuannya dan bukan seorang perempuan yang gila harta.  Hal ini terlihat dari keputusan Marsiti untuk meninggalkan Ay Tjeng karena ia tidak mau menjadi penghalang pernikahan Ay Tjeng dengan Gwat Nio, wanita pilihan ayahnya. Marsiti pergi tanpa sepengetahuan Ay Tjeng dan tidak membawa satu pun harta Ay Tjeng setelah sebelumnya Ia menolak diberikan sejumlah uang dari Oh Pin Lo, ayah Ay Tjeng, sebagai kompensasi atas kepergian Marsiti. Setelah berpisah dengan Ay Tjeng pun Marsiti tetap menjaga kesetiaan dan cintanya dengan tidak menikah dengan orang lain sampai maut menjemputnya. Dengan cara inilah KTH mematahkan stereotip yang melekat pada citra perempuan Sunda. Melalui Marsiti, Ia ingin menyampaikan kepada pembacanya bahwa tidak semua perempuan Sunda memiliki sikap materialistis, suka mengguna-guna dan tidak setia.

Kedua, penggambaran tokoh Marsiti selain menjadi pembelaan terhadap stereotip perempuan Sunda, juga menjadi pembelaan terhadap seorang Nyai yang selalu dianggap sebagai perempuan hina. Untuk mengangkat derajat Marsiti dan sebagai buah dari kemuliaan sikapnya, KTH manghadirkan tokoh Rosminah sebagai buah cinta Marsiti dengan Ay Tjeng. Sebelum meninggal dunia Marsiti berpesan pada Tirta, orang yang menjaga Rosminah setelah kepergiannya dari sisi Ay Tjeng, untuk menjaga Rosminah dan tidak memasukkannya ke dalam Islam serta tidak memberitahukan kepada sembarang orang bahwa ia adalah ibu kandung Rosminah.

Rosminah pun dipertemukan dengan Bian Koen yang sedang depresi karena kehilangan tunangannya, Lily, yang juga merupakan anak dari Ay Tjeng dengan Gwat Nio. Bian Koen pun menginginkankan Rosminah menjadi pengganti Lily. Namun, Rosminah tidak dijadikan seorang Nyai seperti Ibu dan Neneknya, Ia menikah secara resmi oleh Bian Koen dan kembali dipertemukan dengan Ay Tjeng, ayah kandungnya.  Dengan memberikan peruntungan kepada nasib Rosminah, KTH berusaha menaikkan derajat keturunan Marsiti dengan menjadikan anaknya sebagai istri yang sah dari laki-laki terhormat.

Jadi, Kwee Tek Hoay mematahkan stereotip yang melekat pada perempuan Sunda melalui tokoh Marsiti dan mengangkat derajat keturunan seorang Nyai melalui tokoh Rosminah. Lewat Marsiti, Ia menunjukkan bahwa tidak semua perempuan Sunda dan seorang Nyai memiliki sikap matrealistis, suka mengguna-guna, dan tidak setia. Sedangkan, lewat perubahan nasib Rosminah, Kwee Tek Hoay telah menaikkan derajat keturunan seorang Nyai.

Citra Perempuan Bali dalam Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini


Judul Buku   : Tarian Bumi
Pengarang    : Oka Rusmini
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2007 (terbitan pertama tahun 2000)

Apabila terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan Bali masih terbelakang dibandingkan laki-laki di bidang pendidikan, karier, pekerjaan atau dunia politik, tentu anggapan tersebut  sulit untuk dibantah. Fakta dan data di masarakat dengan mudah bisa mendukung nggapan tersebut benar. Namun, apabila terdapat anggapan bahwa perempuan Bali bersifat pasif, nrimo, atau berpangku tangan saja tanpa memperjuangkan nasibnya atau nasib kaumnya dalam kehidupan sosial, anggapan tersebut adalah keliru. Inilah yang coba diungkap oleh Oka Rusmini dalam karyanya yang bertajuk Tarian Bumi.  

Tema yang diangkat dalam Tarian Bumi adalah perempuan dan hubungannya dengan adat dan budaya yang berlaku dalam sistem masyarakat Bali, terutama sistem perkastaan yang sangat sarat dengan feodalisme. Semua tokoh dalam novel Tarian Bumi terikat oleh sistem kasta dan tidak dapat menghindar dari kenyataan tersebut.

Nenek, perempuan yang luar biasa keras. Dia adalah seorang putri
bangsawan. Sejak kecil nenek selalu bahagia. Apapun yang dimilikinya selalu terpenuhi. Ayah nenek seorang pendeta yang mempunyai banyak sisia, orang-orang yang setia dan hormat pada griya. Otomatis sejak mudanya nenek punya kedudukan yang lebih tinggi dan terhormat dibanding dengan perempuan-perempuan lain di griya. (Tarian Bumi,2007: 14).
Dari kutipan di atas, tergambar jelas betapa perempuan bangsawan diperlakukan dengan lebih terhormat dibandingkan dengan perempuan lainnya. Dalam novel Tarian Bumi digambarkan bahwa aturan adat dan kasta sangat mengekang anggotanya dan mensubordinasikan kaum perempuan. Seorang perempuan dari kasta brahmana yang ingin menikahi laki-laki sudra harus rela menanggalkan seluruh atribut kebangsawanannya dan hidup menderita bersama suaminya. Sedangkan, apabila laki-laki brahmana menikahi perempuan sudra, laki-laki tersebut akan tetap menjadi seorang brahmana dan perempuan yang dinikahinya akan menjadi perempuan brahmana mengikuti suaminya.

Sepertinya, Oka Rusmini ingin mengangkat fenomena dalam masyarakat Bali yang sangat erat hubungannya dengan gender. Perempuan-perempuan dalam novel ini adalah perempuan yang berjuang untuk dapat mempertahankan hak-haknya untuk hidup berbahagia di genggaman sistem yang menaunginya.

Secara garis besar, Tarian Bumi bercerita tentang seorang perempuan yang berasal dari kalangan brahmana bernama Ida Ayu Telaga Pidada. Telaga adalah seorang penari yang memiliki paras yang sangat cantik. Ia dipercaya memiliki taksu, semacam bakat bawaan yang diturunkan dari roh penari sebelumnya. Pesona Telaga yang terpancar ketika menari dapat membuat seluruh laki-laki dari semua golongan masyarakat terpikat olehnya.

Pembentukan Telaga sebagai manusia yang utuh dipengaruhi oleh perempuan-perempuan yang ada di dalam kehidupannya. Perempuan pertama adalah ibunya, Luh Sekar (Jero Kenanga). Sekar adalah perempuan dari golongan sudra yang memiliki paras serta tubuh yang indah. Namun, kehidupan Sekar tidak seindah tubuh dan parasnya, kemiskinan telah membelit keluarganya sehingga membuat kehidupannya begitu menderita. Untuk merubah nasibnya, Sekar berambisi untuk menjadi seorang penari sekehe jogged. Ambisinya pun tercapai, Sekar berhasil menjadi penari dan diidolakan banyak kaum lelaki. Sampai suatu saat seorang laki-laki bangsawan terpikat olehnya dan menjadikannya sebagai seorang istri. Dengan demikIan, Sekar telah menjadi seorang bangsawan dan harus membuang segala hal yang berkaitan dengan kesudraannya.

Perempuan kedua adalah neneknya, Ida Ayu Sagra Pidada. Ia adalah seorang perempuan bangsawan yang sangat cantik. Karena kecantikannya, banyak laki-laki yang menginginkan Sagra sebagai pendamping hidupnya. Namun, tidak satu pun laki-laki yang dapat menarik hati Sagra. Sampai akhirnya orang tuanya menjodohkan Sagra dengan laki-laki miskin. Karena karat kebangsawanan Sagra lebih tinggi dari suaminya, maka ia lebih berkuasa di rumah. Suami Sagra pun berambisi untuk menyetarakan derajatnya dengan Sagra. Seiring berjalannya waktu, Sagra mulai mencintai suaminya. Namun sayang, suami Sagra tidak pernah benar-benar mencintainya, bahkan ada rumor yang mengatakan bahwa suaminya memiliki hubungan gelap dengan seorang perempuan sudra dan telah memiliki seorang anak. Karena itu, Sagra selalu menasihati Telaga agar memilih laki-laki yang dapat memberikan cinta dan kasih agar cucunya itu tidak pernah merasakan penderitaan yang ia rasakan.

Perempuan ketiga yang berpengaruh dalam peta pembentukan Telaga sebagai seorang manusia yang utuh adalah Luh Kembren, guru tari pribadinya. Kambren digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki seluruh kecntikan perempuan Bali ketika ia masih muda. Kambren adalah penari yang sangat berbakat dan telah tercatat dalam sejarah nasional. Penghargaan yang ia terima pun sangat banyak. Akan tetapi, penghargaan tersebut tidak pernah berbentuk materi sehingga kehidupan Kambren pun sangat jauh dari sejahtera. Kambren telah melihat berbagai kriteria laki-laki dalam hidupnya. Kambren tidak pernah merasa membutuhkan laki-laki dalam hidupnya, ia merasa bahwa laki-laki hanya menginginkan keelokan tubuhnya. Suatu saat, Kambren jatuh cinta dengan seorang seniman asing. Namun sayang, seniman tersebut menyukai sesama laki-laki, anehnya Kambren tidak dapat berhenti mencintainya. Karena itu, ia tidak pernah menikah hingga akhir hayatnya.

Ketiga perempuan tersebut adalah perempuan yang memiliki peran penting dalam kehidupan Telaga. Hingga akhirnya Telaga berani mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya yaitu menikahi Wayan Sasmitha, laki-laki sudra yang ia cintai selama bertahun-tahun. Pernikahan yang dilarang oleh adat tersebut membuat Telaga harus membuang semua atribut kebangsawanannya.

Seperti apa perempuan-perempuan ini membentuk pribadi Telaga? Apakah Telaga menyesal dengan keputusannya? Bagaimana kehidupan Telaga setelah menikahi laki-laki pilahan yang sangat dicintainya? Jawaban tersebut akan Anda dapatkan dengan membaca novel ciamik karya Oka Rusmini ini. Selamat membaca….