Total Tayangan Halaman

Selasa, 02 Oktober 2018

Belenggu Para Tokoh dalam Novel “Belenggu” Oleh Fitrian Eka Paramita


Belenggu, merupakan prosa dalam bentuk novel pertama buah karya Armijn Pane. Alasan mengapa novel ini diberi judul Belengu adalah karena para tokoh utama dalam novel ini memiliki angan-angan masa silam yang pada akhirnya akan membuat hidup mereka terbelenggu oleh angan-angan tersebut. Karena itu, tulisan ini akan mengupas hal-hal yang membelenggu para tokoh utama dalam novel Belenggu.

Tono adalah tokoh sentral dalam novel ini, Ia digambarkan sebagai seorang Dokter dan menikah dengan Tini, wanita yang berpendidikan dan modern di zamannya. Kehidupan pernikahannya dengan Tini tidak bejalan dengan mulus, karena Tini tidak dapat merepresentasikan sosok istri yang diinginkan Tono. Cintanya kepada Tini membuat Tono bersikukuh memperistri Tini, meskipun Ia tahu bahwa Tini telah memberikan cintanya pada laki-laki lain. Ia selalu berangan-angan bahwa ia dan Tini pada akhirnya akan dapat saling mencintai dan mengasihi.

Namun ternyata, setelah mereka berumah tangga sikap Tini tidak seperti apa yang diangankan oleh Tono. Tini selalu sibuk oleh kegiatan sosialnya di luar rumah. Ketika berada di rumah, Tini bersikap begitu dingin kepada Tono. Sosok istri yang dapat melayani suami justru ia temukan pada Rohayah, yang kemudian menjadi wanita simpanannya. Dalam perjalanannya, timbullah berbagai pertentangan-pertentangan dalam jiwa Tono, angan-angannya bersama Tini telah membelenggunya dalam status “Suami-istri” yang semu. Tidak hanya mimpinya bersama Tini yang membelenggu jiwa Tono, ia mulai mempertanyakan kembali keinginannya menjadi seorang Dokter. Rasa tanggung jawabnya yang besar memaksanya untuk menjadi seorang Dokter untuk membalas jasa Sang Paman yang telah membiayai hidupnya. Tono tidak benar-benar menikmati profesinya sebagai Dokter, kenikmatan justru ia peroleh saat ia bersentuhan dengan seni.

Jika Tono terbelenggu oleh angan-angan percintaan dan keraguan atas keinginannya menjadi Dokter, maka Tini dibelenggu oleh kisah cintanya di masa lalu dengan Hartono, laki-laki yang sangat dicintainya. Cintanya dengan Tono tumbuh dalam kegersangan hatinya yang telah ditinggalkan oleh Hartono. Tini tidak pernah dapat dengan lepas mencurahkan kasih sayangnya kepada Tono karena ia merasa dengan begitu ia telah membohongi Tono. Kasih sayang dan cinta yang selama ini diberikan oleh Tono justru menjadi beban dalam hatinya karena ia tidak dapat memberikan cinta yang serupa kepada Tono. Hatinya sudah layu, cintanya sudah mati karena kepergian Hartono, kekasih yang ia kira sudah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya.

“Karena dialah… kasih sayangnya membuat aku takut, bimbang, hatiku layu, menjadi kusut di dalam, hatiku layu, menjadi kusut di dalah hatiku bertambah hampa… tidak ada yang dapat kuberikan kepadanya, lain dari pasir belaka, padang pasir, padang pasir, tiada kasih saying tempat bernaung….pada hal itulah yang dia perlu. Kasih sayang…..tidak ada apa-apa, padaku, aku kosong belaka…..” (h. 115).

Lain dengan Tini, lain pula dengan Rohayah. Cita-citanya sebagai seorang perempuan adalah menikah dengan laki-laki yang berpofesi sebagai Dokter. Dokter adalah profesi yang dianggap terhormat sejak dulu hingga detik ini, derajat dan penghasilan yang tinggi membuahkan asumsi bahwa siapa pun yang berkeluarga dengan seorang Dokter maka hidupnya akan terjamin secara materiil maupun non-materiil. Hal ini pula yang membuat Rohayah begitu terobsesi dengan Dokter, ia ingin menjadi wanita yang lebih dihormati. Rohayah yang telah mengetahui bahwa Tono telah menjadi seorang Dokter pun akhirnya meneruskan obsesinya yang sempat terhambat oleh nasib buruk yang menaungi hidupnya hingga ia terjerat dalam dunia seks komersial. Namun, setelah berhasil mendapatkan Tono, Rohayah menyadari bahwa Tono tidak pantas dijadikan sebagai bahan pelampiasan obsesi yang selama ini telah membelenggu hidupnya. Ia merasa tidak pantas berada di sisi Tono, laki-laki yang dianggap sangat baik olehnya.
           
Angan-angan masa lalu telah membelenggu jiwa ketiga tokoh dalam novel ini, namun akhirnya mereka dapat melepaskan diri dari belenggu itu. Tini akhirnya memutuskan untuk bercerai dengan Tono tanpa memperdulikan orang-orang yang memiliki anggapan buruk terhadapnya, berhenti untuk berpura-pura bahwa hubungan mereka baik-baik saja dan merelakan cintanya yang telah pupus dengan Hartono, Tini pun memilih untuk mengabdikan diri dalam kegiatan-kegiatan sosialnya. Rohayah pun memutuskan untuk melepaskan Tono, Ia telah memenuhi obsesinya untuk hidup dengan seorang Dokter, namun nuraninya mengatakan bahwa kebahagiaan yang ia rasakan adalah kebahagiaan semu, karena itu ia memutuskan untuk pergi ke Nieuw Caledonie. Sedangkan Tono, ia melepaskan diri dari angan-angannya bersama Tini dan harus merelakan kepergian Rohayah, Ia belajar untuk menenangkan diri dan kembali memantapkan hatinya untuk memperdalam ilmu kedokterannya.

Di Balik Cerpen dari Ave Maria sampai Jalan Lain ke Roma Oleh Fitrian Eka Paramita

sumber gambar : goodreads.com

Dari Ave Maria sampai Jalan lain ke Roma merupakan kumpulan cerpen Idrus dari semenjak kedatangan Jepang tahun 1942 dan sesudah 17 Agustus 1945. Kumpulan cerpen ini merupakan perjalanan proses kreatif Idrus dari cerpen yang masih berbau romantic hingga  karekteristik Idrus sebagai seorang realis kemudian tampak. Kumpulan cerpen yang banyak menggambarkan bagaimana keadaan masyarakat pada masa pendudukan Jepang ini terbagi menjadai tiga bagian, Zaman JepangCorat-Coret di Bawah Tanah, dan Sesudah 17 Agustus 1945. Maka, tulisan ini akan mencoba menemukan karekteristik Idrus di balik kumpulan cerpen dari Ave Maria sampai Jalan lain ke Roma.

Dalam Zaman Jepang terdapat cerpen Ave Maria yang masih sarat dengan tema percintaan, namun cara penceritaan Idrus melalui tokoh Zulbahri bukanlah hal yang biasa karena ia sebagai pencerita masuk dalam cerpen ini sebagai Aku yang kemudian bertemu dengan Zulbahri sebagai pengalam cerita. Sehingga pembaca seperti membaca wacana interaksional antara Aku dengan Zulbahri. Hubungan interaksional ini justru diperjalas dalam bentuk sebuah naskah sandiwara sederhana yang berjudul Kejahatan Membalas Dendam. Dalam Kejahatan Membalas Dendam, hal-hal berbau propaganda Jepang sudah mulai tercium dengan jelas walaupun kisah ini masih dibungkus dalam tema percintaan segitiga antara Ishak, Satilawati, dan Kartili.

Pada bagian Corat-Coret di Bawah Tanah, sikap skeptis Idrus telah mewarnai hampir seluruh cerpennya, ia melukiskan kehidupan rakyat dengan penderitaannya pada masa itu dengan kacamata realistis humoris. Dalam Kota-Harmoni, Idrus melukiskan sketsa dalam sebuah trem dengan rute Kota-Harmoni. Di dalam trem itu kekuasaan Jepang dan implikasinya terhadap rakyat diceritakan melalui interaksi antar penumpang  di dalamnya baik secara lisan ataupun perilaku orang-orang dalam trem tersebut. Penderitaan dan kemiskinan yang di derita oleh rakyat digambarkan kembali dalam Jawa Baru, kali ini Idrus juga tidak menghadirkan tokoh sentral dalam, ia adalah pencerita dan pemberita dalam alur cerita ini. Dalam Heiho, kritik Idrus tentang masyarakat Indonesia yang belum juga sadar bahwa Jepang adalah musuh di balik selimut sangat kentara. Dalam Heiho, diceritakan bagaimana bangganya rakyat Indonesia menjadi seorang Heiho, pembantu serdadu Jepang. Dalam cerpen ini diceritakan tentang Kartono yang bangga menjadi seorang Heiho karena ia menganggap dengan menjadi seorang Heiho ia telah berjuang demi Negara, namun istrinya marah besar karena ia menganggap Heiho adalah orang-orang yang dimanfaatkan oleh Jepang untuk berada di garis depan, seperti halnya istilah Heiho dalam rumah tangga yang berarti jongos. Membaca Kota-Harmoni, Jawa Baru, Pasar Malam Zaman Jepang, Sanyo, Fujinkai, Oh…Oh…Oh dan Heiho dalam Corat-Coret Dalam Tanah akan membuat pembaca tertawa nyinyir, meringis, dan kasihan melihat kehidupan dan pemikiran masyarakat pada masa itu, karena itulah gaya penceritaan Idrus dikatakan realistis humoris oleh H.B. Jassin dalam pendahuluan kumpulan cerpen ini.

Dalam bagian Sesudah 17 Agustus, Idrus masih mengungkapkan pandangannya tentang realitas yang ia lihat pada masa itu. Dalam Surabaya, Idrus mengkritisi banyaknya kepincangan-kepincangan yang terjadi dalam revolusi yang sedang berkobar saat itu. Sedangkan  Jalan Lain ke Roma, merupakan sintetis yang apik dari romantisme idealis Ave Maria dan Kejahatan Membalas Dendam dengan realisme yang tertuang pada cerpen-cerpen Corat-Coret di Bawah Tanah. Pencarian jati diri tokoh utama dalam Jalan Lain ke Roma merupakan cerita penutup yang mungkin diharapkan oleh pembaca, dimana pada akhirnya Open memperoleh kedewasaan dalam berpikir dan bersikap, suatu hal yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat pada saat itu.

Komunikasi Produktif - Mengganti Kalimat Interogasi dengan Kalimat Observasi


Salah satu alasan mengapa saya sangat sulit melepas pekerjaan sebagai seorang guru adalah karena tempat tinggal kami sangat dekat dengan sekolah tempat saya mengajar. Hanya butuh dua menit berjalan kaki untuk sampai di sekolah. Dengan demikian, saya tetap dapat memantau anak-anak dan bisa pulang setiap jam istirahat untuk makan siang bersama atau sekedar memastikan keadaan di rumah terkendali.

Siang ini, saat jam istirahat, seperti biasa, saya pun pulang untuk istirahat makan siang. Belum sempat tangan ini membuka pintu, tiba-tiba PRANKKK… terdengan bunyi sesuatu – berbahan kaca – terbanting dan pecah. Tanpa ba bi bu lagi, saya langsung membuka pintu dan tadaaaa…

Saya mendapati tersangka utama masih berada di TKP sedang terkejut terhadap ulahnya sendiri. Tersangka itu diketahui bernama Faqih, usia 2 tahun 9 bulan yang terciduk menjatuhkan sebuah tutup panci kaca. Karena saya sudah cukup puas melihat tampang bersalah dan terkejut yang sangat jelas tergambar dalam raut wajah Faqih, maka saya urungkan niat hati ini untuk meratapi nasib si tutup panci. Dengan sigap, saya gendong Ia memasuki kamar dan mendelegasikan tugas membersihkan pecahan kaca yang berserakan kepada Abi. “Maaf ya Abi… umi mau praktik komunikasi” (sambil tersenyum manis dan manja hehehe)

Satu hal yang saya perhatikan, Faqih sudah mulai mengerti mana perbuatan yang salah dan yang benar atau sederhananya ia sudah dapat mengidentifikasi mana perbuatan yang membuat kami – orang tuanya – merasa senang dan tidak senang. Sehingga, setiap ia melakukan hal-hal yang kurang terpuji, gesture bersalahnya akan nampak sekali seperti menunduk, terkejut sendiri, lari ke dalam kamar, atau menutup mulut dengan kedua tangannya. Itulah yang saya maksud cukup puas dengan ekspresi bersalahnya kala menjatuhkan si tutup panci hingga berkeping-keping.

Setelah berada di kamar, saya pun memulai percakapan.

“Kakak kaget ya?...”

“Tadeeeet (kaget)” pekiknya setengah berteriak seakan senang sekali perasaanya terkonfirmasi.

“Sakit?”
Kali ini dijawab dengan gelengan kepala

“Umi… tutup jatoh…” ia berusaha untuk bercerita

“Iya kak, lain kali hati-hati ya…”

“Tima Kasiih (terima kasih)” ungkapnya.

Loh kenapa Faqih berterima kasih ya? Saya pun menduga-duga, mungkin ia pikir saya akan marah dan berterima kasih karena ternyata saya tidak meninggikan suara atau ia berterima kasih karena saya sudah mencoba memahami apa yang ia rasakan?

Setelah mempelajari komunikasi produktif, saya memang jarang sekali marah. Karena saya mulai menyadari bahwa ketika marah, saya telah menebarkan energi negatif yang tidak ada faedahnya sama sekali. Ketika ada orang lain tidak melakukan apa yang saya inginkan, saya mulai merefleksikan diri, apakah gaya berkomunikasi saya sudah benar? Apakah saya sudah memberi intruksi dengan benar sehingga mereka mengerti apa yang saya maksud?

Ternyata dengan mengganti kalimat interogasi dengan kalimat observasi dapat membantu kita dalam mengolah emosi, karena kita dipaksa untuk memahami kondisi orang lain terlebih dahulu. Setelah orang lain menerima empati yang kita berikan, orang tersebut akan terbuka untuk menceritakan alasan mengapa ia berbuat seperti itu, saat alasan yang diberikan logis maka kita pun dapat memaklumi dan akhirnya dapat berpikir rasional. Ingat poin pertama dalam komunikasi produktif adalah dahulukan nalar daripada emosi. Jadi, benarlah salah satu hadis yang mengatakan “Janganlah marah maka bagimu surga”. Semangat berbahagia bunda pembelajar…


#hari10
#gamelevelsatu
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
#institutibuprofesonal

Komuniasi Produktif - Mengganti Nasihat dengan Refleksi Pengalaman

“Anak laki-laki, ga jantan kalau tidak ada bekas luka…”

Seorang teman pernah berceloteh demikian, padahal kenyataannya saya sebagai anak perempuan yang –dulu dibilang- sangat aktif pun selalu memiliki bekas luka. Tetapi, kali ini saya berterima kasih terhadap pengalaman yang meninggalkan kenangan manis di lutut, jidad, dan beberapa tempat lain yang justru membuat saya lebih mudah mempraktikan salah satu poin dalam komunikasi produktif yaitu “Mengganti Nasihat dengan Refleksi Pengalaman”. Ya, pengalaman memang selalu menjadi guru terbaik. Bahkan, saya sendiri sangat senang belajar dari kisah-kisah inspiratif sesorang dibandingkan dengan pemberian motivasi-motivasi yang hanya berbentuk kalmat-kalimat imperative dan persuasif.
***
Seperti hari-hari yang lainnya, Faqih bermain di halaman, berlari-lari mengejar anak ayam tetangga dan sesekali mengejar kupu-kupu yang terbang berlalu lalang, sungguh pemandangan yang menyejukkan mata. Namun, sesuatu menarik perhatiannya, di atas sebuah pohon jambu yang tidak seberapa besar namun cukup tinggi dibanding tubuh mungilnya. Di sisi pohon tersebut bersandar sebuah tangga yang memang dijadikan tempat bertengger ayam. Ia pun membiarkan tubuhnya memuaskan rasa keingintahuannya pun saya melakukan hal yang sama dengan membiatkannya bereksplorasi. Pelan-pelan ia naiki tangga tersebut dengan harapan dapat memastikan apa yang dilihatnya tadi. Sayangnya, kaki mungilnya belum cukup mantap untuk menyeimbangkan gerakan tubuhnya dan akhirnya... GUBRAAK  “adddddduuuuuhh…. Tolong….” Insiden yang tak terhindarkan pun terjadi…

“Kakak… sakit ya?” saya memberikan sedikit empati untuk menenangkan hatinya.

“adduuhh… sakit” Faqih sediki mengeluh tapi saya rasa tidak cukup sakit untuk membuatnya menangis, saya pun mengajaknya kedalam rumah untuk membersihkan luka dan kotoran di dengkul dan tangannya.

“Kakak… lihat deh, sama kan?” dengan bangganya saya menunjukkan bekas luka yang terdapat di lutut, kanan dan kiri.

“Umi juga pernah jatuh, dulu... umi suka naik naik ke pohon, karena umi tidak hati-hati, terus keluar darah banyak sekali…” ujar saya bercerita.

“umi… sama… sakit uga” balasnya mulai tertarik

“Iya kak, kalau tidak hati-hati bisa jatuh ya kak, kalau naik-naik nanti seperti umi, nih, sakit… Jadi, kalau bermain kita harus bagaimana kak supaya tidak sakit?”saya pun mulai mengonfirmasi apa yang Ia tangkap.

“hati-hati” yess… he got it!

Setelah percakapan sederhana itu, saya kembali teringat akan sesuatu yang membuatnya sangat penasaran tadi.

“Kak, kakak tadi mau lihat apa si?”

Tanpa menjawab  dengan kata-kata, Ia langsung pergi ke pohon jambu tadi.

“Umi… tolong” sambil membentangkan tangannya, pertanda ia minta digendong, dan permintaannya pun saya kabulkan dengan senang hati.

“Ulaaaatt” pekikinya. 

Ternyata sesuatu itu adalah seekor ulat bulu berwarna hijau. Hay , ulat bulu manis, terima kasih untuk pelajaran hari ini yah….






#hari9

#gamelevelsatu
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
#institutibuprofesional