Total Tayangan Halaman

Senin, 29 Januari 2018

ANALISIS PUISI “HANYUT AKU“ KARYA AMIR HAMZAH Oleh: Fitrian Ekan Paramita

A. Latar Belakang Sosial-Budaya

       Dalam puisi “Hanyut Aku” ini nampak bahwa si Aku tengah tenggelam dalam pencarian spiritualnya, ia seakan hanyut oleh derasnya gairah akan cinta kasih dan pencerahan dari sang kekasih. Namun, Ia hanya sendiri tiada yang dapat menolongnya dari dahaga akan kasih dan bisikan sang kekasih. Oleh karena itu ia (si Aku) meminta pertolongan pada kekasihnya, berharap kekasihnya akan iba dan peduli padanya. Akan tetapi sang kekasih hanya diam sehingga si Aku menjadi putus asa, seakan-akan ia akan mati.
       Seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang lain, misalnya “Padamu Jua”, “Hanya Satu”, “Karena Kekasih”, sajak “Hanyut Aku” ini merupakan dialog antara si Aku dengan kekasihnya, yaitu Tuhan. Secara semiotik, hubungan si Aku dengan kekasihnya ini memang terlihat seperti hubungan antara laki-laki dan perempuan pada umumnya. Apalagi, banyak sedikitnya “rindu” dan “kesunyian” Amir Hamzah dalam sajaknya, secara psokologis dikaitkan orang juga kelahirannya dengan perkembangan hubungannya dengan Ilik Sundari[1]. Rasa hampa hidup karena kehilangan Ilik Sundari, orang yang sangat Ia kasihi selama menetap di  Batavia (Jakarta sekarang) membuatnya seolah-olah kehilangan gairah hidupnya sendiri terlebih hal ini merupakan kedua kalinya Amir mengalami kagagalan dalam hal percintaan setelah sebelumnya di Binjai ia harus patah hati lantaran Aja Bun gadis pujaannya yang merupakan anak angkat orang tua Amir Hamzah menikah dengan Tengku Husein Ibrahim, saudara Amir Hamzah sendiri.
       Namun, merujuk pada kekasih yang diperkenalkan Amir Hamzah pada sajaknya “Padamu Jua”, kekasih disini adalah Tuhan yang diantromorphkan seperti manusia, sang kekasih: …/ Satu kekasihku/ Aku manusia/ Rindu rasa/ Rindu rupa/ Dimana engkau/ Rupa tiada/ Suara sayup/ Hanya kata merangkai hati/…. Kekasih si Aku dalam sajak “Padamu Jua” adalah kekasih ghaib yang tak dapat diindera, diraba, dirindukan rupanya, hanya kata merangkai hati (jika kekasih yang ghaib ini perumpamaan wujud Tuhan, maka, “kata yang merangkai hati” itu adalah nama Tuhan ataupun kata-kata dalam kitab suci)[2]. Lalu hal ini dipertegas dengan menggambarkan kekasihnya yang pelik, membuat penasaran dan menimbulkan keinginan untuk dapat selalu dekat: / Engkau pelik menarik ingin/ Serupa dara dibalik tirai, larik ini menegaskan bahwa kekasihnya itu hanya serupa dara, yang berarti bukan dara dalam arti sesungguhnya.
       Selain itu, Amir Hamzah memandang hubungan laki-laki dengan wanita pada umumnya hanyalah sementara, hanya sepanjang lagu, bertukar pandang, bercintaan setelah itu selesai. Semua itu tergantung Tuhan sebagai dalang yang mengatur jalan cerita kehidupan seseorang. Konsep ini dituangkan Amir Hamzah dalam sajaknya, “Sebab Dikau”:
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyenang dalang mengarak sajak

       Dengan demikian, hubungan dengan sesama manusia hanyalah sekedar menjalankan lakon dari Tuhan, jika hubungan itu harus berakhir pun tidak akan membuat si Aku mati karena semua adalah rencana Tuhan. Maka dapat dikatakan sajak-sajak dalam Nyanyi Sunyi termasuk sajak “Hanyut Aku” ini merupakan refleksi dari problema hidup yang ia hadapi, dimana didalamnya ia berusaha mencari nilai dan bentuk percintaan yang kekal dalam percobaan-percobaanya berdialog dengan Tuhan.
       Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam puisi “Hanyut Aku” ini, kekasih yang dimaksud adalah kekasih ghaib (Tuhan), hal ini diperjelas dengan gambaran akan ketergantungan si Aku pada pertolongan sang kekasih dan dahaganya akan cinta kasih pujaanya tersebut begitu dahsyat sehinggga diamnya sang kekasih membuatnya seperti akan mati, tenggelam dalam gairah yang tak tersampaikan. Hal ini jelas sangat berlainan dengan konsep hubungan laki-laki dan wanita yang digambarkan oleh Amir Hamzah dalam puisinya “Sebab Dikau”.
       Rupanya dalam kehanyutan pengembaraan spiritualnya, Amir Hamzah selalu merasa sendiri, tiada yang dapat menolong dan menenangkan hatinya selain Tuhan itu sendiri: Ulurkan tanganmu, tolong aku/ Sunyinya sekelilingku!/ Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati/ tiada air menolak ngelak. Kesendirian yang dirasakan Amir Hamzah adalah sangat wajar karena dalam riwayat hidupnya, ia harus berpisah dengan orang-orang yang ia kasihi termasuk dengan keluarganya. Sebelum menamatkan pendidikan menengahnya di Medan, ia harus bertolak ke Batavia (Jakarta) dan disinilah ia menamatkan sekolah menengah pertamanya tahun 1929. Kemudian Amir Hamzah pindah ke Solo untuk menempuh pendidikan menengah atasnya. Perpisahan dengan keluarga terutama sang Bunda inilah yang membuat Amir Hamzah selalu merasa terasing, kesepian dan tak putus dirundung rindu.
       Dalam kesendirinnya itu, Amir Hamzah menggali potensi spiritualnya, menjadikan Tuhan sebagai tempat batinnya mengadu dan berteduh dari segala problema hidup. Namun, pencariannya akan Tuhan ini pun tidak selalu berjalan mulus dan lancar. Kesendirian dalam pengembaraan spiritualnya bahkan membuat Amir Hamzah hampir putus asa, karena ia merasa segala apa yang dimintanya tidak diberikan oleh Tuhan dan apa yang dipertanyakannya tidak dijawab oleh Tuhan dan tiada seorangpun yang dapat menunjukkan jalan keluar dari pencarian-pencariannya akan tuhan, seperti tergambar dalam sajaknya “Insyaf”:

“AMBIVALENSI TOKOH HANAFI DALAM NOVEL SALAH ASUHAN” Oleh: Fitrian Eka Paramita

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Menjadi bangsa terjajah bukanlah pengalaman yang mudah dilupakan. Itulah sebabnya mengapa pengalaman dengan kolonialisme merupakan tema yang tak mati-mati dalam khasanah antara bangsa-bangsa yang pernah mengalami penjajahan. Itu pula sebabnya mengapa persentuhan bangsa-bangsa terjajah terhadap kebudayaan Barat senantiasa berjalin berkelindan dengan, dan tidak dapat dilepaskan dari, persoalan kolonialisme. Kedua hal ini, kolonialisme dan berkenalan dengan budaya Barat, memenuhi khasanah bangsa terjajah tersebut, baik selama proses perlawanan memperjuangkan kemerdekaan maupun lama setelah kemerdekaan tersebut mereka capai. Salah satu tema yang tetap actual dan sering kali muncul dalam karya sastra adalah berturan Barat dan Timur, atau tepatnya benturan modernitas Barat dengan tradisi budaya asal yang dihidupi masyarakat tempat sastrawan itu menuliskan karyanya. (Sarjono, 2005;2)
Salah Asuhan (1928) merupakan salah satu roman karya Abdoel Moeis yang menceritakan bagaimana benturan antara modernitas Barat dan adat ketimuran dalam kerangka hubungan percintaan, kawin paksa dan kawin campur sebagai tandingannya. Abdoel Moeis juga menceritakan kesenjangan budaya yang sangat terang antara budaya Barat yang dianggap sangat tinggi dengan budaya Timur yang merupakan kebalikannya dan apa-apa yang disebabkan oleh adanya kesenjangan tersebut.
Hanafi sebagai tokoh utama dalam novel ini merupakan laki-laki golongan pribumi yang tumbuh dalam asuhan dan didikan budaya Barat sehingga ia merasa sebagai orang Belanda yang terperangkap dalam raga pribumi yang dianggapnya bangsa rendah dan bodoh. Ketika ia menjadi pribumi terdidik, kalangan Belanda menerima kehadirannya diantara mereka dengan baik, namun justru ketika ia menikah dengan wanita Belanda dan mempersamakan haknya dengan orang Belanda, dengan kata lain pindahlah kewarganegaraannya menjadi bangsa Belanda, ia dinilai takabur dan besar kepala oleh bangsa Belanda sehingga keluarga campuran tersebut tersisih dari pergaulannya baik dikalangan orang Belanda maupun orang Pribumi (Minangkabau) karena Hanafi  sudah memisahkan diri dari bangsa asalnya.
Dalam kasus inilah terjadi ambivalensi pada tokoh Hanafi, dimana posisinya menjadi tidak jelas. Maka makalah ini akan membahas mengenai posisi Hanafi dalam novel Salah Asuhan dan sekaligus akan mengupas unsure intrinsik novel ini secara singkat dan sederhana.

1.2   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana ambivalensi tokoh Hanafi digambarkan dalam novel “Salah Asuhan”?
1.3  Tujuan
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Dapat mengetahui gambaran ambivalensi tokoh Hanafi dalam novel “Salah Asuhan”.

ARGUMENTASI

2.1 Pengertian argumentasi
Karangan argumentasi merupakan salah satu bentuk karangan yang berusaha mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan pada pertimbangan logis maupun emosional. (Rottenberg 1988: 2 dalam martatik 1997: 4.25) dan Salmon (1984: 8) dalam Martatik (1997: 4.25) menyatakan bahwa argumentasi sebagai kalimat yang disusun sedemikian rupa sehingga beberapa kalimat berfungsi sebagai bukti-bukti yang mendukung kalimat lain yang terdapat dalam kalimat itu. Jadi, karangan argumentasi adalah karangan yang isinya menolak atau menyetujui sesuatu dengan memberikan alasan-alasan yang logis agar pembaca atau pendengar meyakini.
Karangan argumentasi terdiri atas paparan alasan dan penyintetisan pendapat untuk membangun suatu kesimpulan. Tujuannya untuk memberikan alasan, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan agar dapat meyakini pembaca. Disamping itu muatan lain yang harus terdapat di dalam karangan argumentasi adalah
  1. bersifat penyampaian pandangan yang berisi bantahan mengenai suatu usul;
  2. meyakinkan pembaca agar menyetujui bantahan-bantahan yang dikemukakan;
  3. bersifat pemecahan masalah;
  4. bahan diskusi mengenai suatu persoalan tanpa perlu mencapai penyelesaian.
Upaya meyakinkan pembaca memerlukan persyaratan tertentu yaitu
  1. berfikir logis dan kritis;
  2. mau mempertimbangkan berbagai pendapat;
  3. memiliki pengetahuan yang luas tentang topic atau meteri yang ditulis.

2.2 Dasar dan sasaran
Dengan mempergunakan prinsip-prinsip logika sebagai alat bantu utama, maka argumentasi atau tulisan argumentatif yang ingin mengubah sikap dan pendapat orang lain bertolak dari dasar-dasar tertentu, menuju sasaran yang hendak dicapainya.
Dasar yang harus diperhatikan sebagai titik tolak argumentasi adalah:
  1. Pembicara atau pengarang harus mengetahui serba sedikit tentang subyek yang akan dikemukakannya, sekurang-kurangnya mengenai prinsip-prinsip ilmiahnya.
  2. Pengarang harus bersedia mempertimbangkan pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapatnya sendiri.
Disamping kedua prinsip di atas, penulis atau pembicara harus memperlihatkan pula ketiga prinsip tambahan berikut:
  1. Pembicara atau penulis argumentasi harus berusaha untuk mengemukakan pokok persoalannya dengan jelas; ia harus menjelaskan mengapa ia harus memilih topik tersebut. Sementara itu ia harus mengemukakan pula konsep-konsep dan istilah-istilah yang tepat.
  2. Pembicara atau penulis harus menyelidiki persyaratan mana yang masih diperlukan bagi tujuan-tujuan lain yang tercakup dalam persoalan yang dibahas itu, dan sampai di mana kebenaran dari pernyataan yang telah dirumuskannya itu.
  3. Dari semua maksud dan tujuan yang terkandung dalam persoalan itu, maksud yang mana yang lebih memuaskan pembicara atau penulis untuk menyampaikan masalahnya.
Di samping prinsip-prinsip yang harus diperhatikan, penulis selalu berusaha pula untuk membatasi persoalannya, dan menetapkan di mana terletak titik atau sasaran ketidaksesuaian pendapat antara pengarang dan pembaca. Dengan demikian ia dapat mengubah keyakinan atau mempengaruhi sikap dan tindakan pembaca atau hadirinnya.
Untuk membatasi persoalan dan menetapkan titik ketidaksesuaian, maka sasaran yang harus ditetapkan untuk diamankan oleh setiap pengarang argumentasi adalah:
  1. Argumentasi itu harus mengandung kebenaran untuk mengubah sikap dan keyakinan orang mengenai topik yang akan diargumentasikan.
  2. Pengarang harus berusaha untuk menghindari setiap istilah yang dapat menimbulkan prasangka tertentu.
  3. Sering timbul ketidaksepakatan dalam istilah-istilah.
  4. Pengarang harus menetapkan secara tepat titik ketidaksepakatan yang akan diargumentasikan.

2.3 Metode Argumentasi
            Untuk menghasilkan karangan argumentasi yang baik ada beberapa metode yang dapat dilakukan sebagai berikut:

Minggu, 28 Januari 2018

ADAB SEBELUM ILMU (Pertemuan Perdana Kelas Offline Matrikulasi #Batch5 IIP Tangsel)

Alhamdulillah… Allah memberikan kesempatan untuk bergabung bersama Institut Ibu Profesional (IIP) dalam program matrikulasi gelombang kelima. Program ini akan berjalan selama sembilan minggu, karena namanya adalah matrikulasi maka pembahasannya pun merupakan overview  dari kelas yang akan diikuti lebih lanjut yaitu kelas: Bunda Sayang, Bunda Cekatan, Bunda Produktif, dan Bunda Shalehah. Setiap kelas akan diampu selama satu tahun, jadi total kami belajar adalah kurang lebih 4 tahun 3 bulan. Waaahh… membayangkannya adrenalin saya langsung naik nih, lama yaa?? Yups, kan sama dengan kita kuliah lagi 😊 mudah-mudahan bisa istiqomah untuk belajar menjadi Ibu terbaik bagi anak-anak dan Istri terbaik bagi suami, insya allah atas ridho suami, ini adalah salah satu ikhtiar saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik…


Nah balik lagi ke program matrikulasi ya pemirsa…

Untuk lulus program matrikulasi ini, kita harus mengumpulkan Nice Homework  (NHW) setiap minggu dan mengikuti minimal tujuh dari sembilan kali pertemuan, jadi harus pandai-pandai mengatur waktu deh…  tugasnya apa sih?? Saya juga belum tahu, kan baru mau mulai hehehe…  tapi yang jelas, tugas yang diminta adalah pengalaman kita setelah belajar, jadi tidak ada salah dan benar, hanya belajar menuliskan hikmah dalam goresan tinta.

Nah dari pertemuan perdana kemarin (Sabtu, 27 Januari 2018) kami belajar bagaimana adab menuntut ilmu yang diantaranya menjelaskan bagaimana adab kita sebagai pencari ilmu kepada diri sendiri, kepada guru, dan kepada sumber ilmu itu sendiri. Kami ditemani oleh fasilitator yang luar biasa yaitu Mbak Nika Yunitri dan observer kelas  kami yang ga kalah kece yaitu Mbak Adit Marwa.

Mengapa sih harus belajar Adab ? karena Adab adalah pembuka pintu ilmu bagi yang ingin mencarinya, karena ILMU adalah syarat untuk kita melakukan AMAL dan ADAB adalah cara bagaimana kita mengamalkan ilmu, maka ADAB adalah hal yang paling didahulukan sebelum ILMU.
Kelas offline matrikulasi #batch5 IIP Tangsel
Berikut adalah Adab Menuntut Ilmu yang dapat saya sarikan dari pemaparan bunda Nika Yunitri saat perkuliahan kemarin:

Adab pada Diri Sendiri
Pertama, kita harus ikhlas dan membersihkan diri dari segala hal yang bersifat negatif, agar tiada penghalang untuk ilmu masuk ke dalam hati. Pentingnya kita untuk membersihkan hati dan tingkah laku dalam mencari ilmu juga dinyatakan dalam sebuah nasihat yang diberikan oleh guru imam Syafi’i rahimmahullah yaitu Imam Waki yang berbunyi  “Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat”

Kedua, selalu berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama dalam kebaikan. Datang di awal waktu, duduk dibarisan depan, dan mengerjakan tugas tepat pada waktunya.

Ketiga, mengosongkan gelas. Kita harus membuang jauh-jauh sifat sombong, merasa lebih tahu dan lebih paham karena sejatinya ilmu Allah sangat luas, ilmu yang ada di bumi sekarang ini ibarat setetes air di lautan, maka jangan pernah berbangga dan berpuas diri.

Keempat, belajar tuntas. Kita sebagai pembelajar harus belajar secara tuntas agar ilmu yang kita amalkan tidak salah kaprah akibat dari pembelajaran yang setengah-setengah.

Kelima, mencatat dan mengerjakan tugas. Ilmu ibarat binatang buruan dan tulisan adalah pengikatnya, maka sepandai apapun kita berburu apabila tidak pandai menjaganya maka lepaslah sang buruan. Oleh karena itu, catatlah ilmu tersebut, kerjakan tugas sebagai bahan penghayatannya.

Adab terhadap Guru (Penyampai Ilmu)
Pertama, khidmat terhadap guru. Kita harus berusaha memperoleh ridho guru, hormat kepadanya dan senantiasa menyenangkan hatinya agar tiada penghalang ilmu untuk sampai pada kita.

Kedua, tidak mendahului guru. Walaupun kita sudah pernah memperoleh materi yang akan disampaikan, namun kita tidak patut mendahului guru dalam menyampaikan, menjawab pertanyaan, memotong pembicaraan dan membandingkan apa yang dibicarakan guru tersebut dengan sumber yang lain.

Ketiga, meminta izin saat ingin menyampaikan ilmu yang telah diajarkan kepada orang lain. Apabila kita ingin menyampaikan ilmu yang telah kita dapat, kita harus meminta keridhoan guru untuk menyebarkannya dengan tetap mencantumkan sumber/nama guru tersebut.


Adab terhadap Sumber Ilmu
Pertama, tidak patut kita meletakkan sumber ilmu di tempat-tempat yang buruk (apabila bentuknya seperti buku), menginjak-injaknya, melemparnya, dan perlakuan-perlakuan buruk lainnya, perlakukan ia dengan hormat.

Kedua, kita tidak boleh menyebarluaskan atau menggandakan dengan tujuan komersil tanpa izin dari penulis atau sumber ilmu tersebut.

Ketiga, tidak mendukung kegiatan plagiariame, pembajakan dan hal serupa lainnya.

Keempat, dalam jaringan, tidak menyebarluaskan ilmu atau informasi apapun dengan keterangan “copas dari grup sebelah” tanpa mencantumkan sumber yang telah valid dan dapat KITA pertanggungjawabkan keabsahannya.

Kelima, dalam jaringan, kita harus menerapkan “sceptical thinking” dalam menerima sebuah informasi. Selalu waspada dan tidak mudah percaya dengan kebenaran sebuah informasi apabila belum memvalidasinya terlebih dahulu.

Sekarang kita kembali lagi ke Nice Homework :)
NHW pertama yang saya dapatkan dari pertemuan perdana kemarin adalah sebuah pertanyaan yang sebenarnya menjadi dasar utama bagi saya untuk mengikuti perkuliahan ini yaitu:

Tentukan satu jurusan ilmu yang akan anda tekuni di universitas kehidupan ini dan sertakan alasannya!

Banyak sekali keinginan-keinginan yang sejatinya belum tercapai untuk memperbaiki diri, namun hal utama yang ingin saya pelajari adalah bagaimana menjadi  seorang Ibu Profesional, Ibu yang memberikan hal terbaik baik putra putrinya dan Istri yang memberikan hal terbaik bagi suaminya. Banyak orang berkata bahwa menjadi ibu dan istri tidak ada sekolahnya, namun saya yakin semua hal ada ilmunya (buktinya Institut Ibu Profesional hadir untuk menjawab pernyataan tersebut J) yang menjadi perkara adalah perihal kita mau mempraktikannya atau tidak.

Bagaimana strategi menuntut ilmu yang akan anda rencanakan di bidang tersebut!

Strategi saya tentunya adalah bergabung dengan keluarga IIP Tangsel, berkomunikasi dengan suami sebagai partner hidup dan yang pasti teman sekelompok dalam mengerjakan tugas serta mempraktikkan ilmu yang saya dapat dalam kelas. Kemudian, saya akan belajar memanajemen waktu, agar dapat konsisten dan komitmen dalam institusi ini ❤ Bismillah…

Berkaitan dengan adab menuntut ilmu, setelah mendapat materi ini saya akan berusaha memperbaiki diri dengan:
Mengosongkan gelas
Salah satu mental blok adalah sikap merasa lebih tahu, maka saya akan datang dengan gelas kosong, membuang semua kesombongan dan mengisinya dengan keikhlasan dan keridhoan untuk menyerap ilmu yang akan disampaikan nanti.
Belajar Tuntas
Menuntaskan apa yang telah saya mulai dengan belajar istiqomah, karena banyak ilmu yang salah saat diamalkan akibat belum tuntas dipelajari.
      Berlomba menjadi yang terdekat dengan sumber ilmu
Belajar untuk datang before time sehingga tidak ada sedikitpun materi yang tertinggal serta duduk paling dekat dengan guru agar dapat lebih mudah berdiskusi dan lebih jelas serta fokus saat mendengarkan pemaparan materi.
Menghayati etika menyebarkan ilmu
Tidak sembarangan menyebarkan ilmu, pastikan sudah mendapat ridho dari guru dan mencantumkan asal ilmu tersebut. Memastikan sumber informasi telah valid dan dapat saya pertanggungjawabkan kepada orang lain dan yang terpenting kepada Allah SWT. Memperlakukan sumber ilmu dengan baik, tidak meletakkan di tempat-tempat yang buruk jika sumber tersebut berbentuk buku.


Semoga Allah memudahkan ikhtiar ini dan memberinya keberkahan yang berlipat. Aminn….


Referensi :
_Turnomo Raharjo, Literasi Media & Kearifan Lokal: Konsep dan Aplikasi, Jakarta, 2012._
_Bukhari Umar, Hadis Tarbawi (pendidikan dalam perspekitf hadis), Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 5_
_Muhammad bin sholeh, Panduan lengkap Menuntut Ilmu, Jakarta, 2015_