Total Tayangan Halaman

12523

Senin, 29 Januari 2018

“AMBIVALENSI TOKOH HANAFI DALAM NOVEL SALAH ASUHAN” Oleh: Fitrian Eka Paramita

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Menjadi bangsa terjajah bukanlah pengalaman yang mudah dilupakan. Itulah sebabnya mengapa pengalaman dengan kolonialisme merupakan tema yang tak mati-mati dalam khasanah antara bangsa-bangsa yang pernah mengalami penjajahan. Itu pula sebabnya mengapa persentuhan bangsa-bangsa terjajah terhadap kebudayaan Barat senantiasa berjalin berkelindan dengan, dan tidak dapat dilepaskan dari, persoalan kolonialisme. Kedua hal ini, kolonialisme dan berkenalan dengan budaya Barat, memenuhi khasanah bangsa terjajah tersebut, baik selama proses perlawanan memperjuangkan kemerdekaan maupun lama setelah kemerdekaan tersebut mereka capai. Salah satu tema yang tetap actual dan sering kali muncul dalam karya sastra adalah berturan Barat dan Timur, atau tepatnya benturan modernitas Barat dengan tradisi budaya asal yang dihidupi masyarakat tempat sastrawan itu menuliskan karyanya. (Sarjono, 2005;2)
Salah Asuhan (1928) merupakan salah satu roman karya Abdoel Moeis yang menceritakan bagaimana benturan antara modernitas Barat dan adat ketimuran dalam kerangka hubungan percintaan, kawin paksa dan kawin campur sebagai tandingannya. Abdoel Moeis juga menceritakan kesenjangan budaya yang sangat terang antara budaya Barat yang dianggap sangat tinggi dengan budaya Timur yang merupakan kebalikannya dan apa-apa yang disebabkan oleh adanya kesenjangan tersebut.
Hanafi sebagai tokoh utama dalam novel ini merupakan laki-laki golongan pribumi yang tumbuh dalam asuhan dan didikan budaya Barat sehingga ia merasa sebagai orang Belanda yang terperangkap dalam raga pribumi yang dianggapnya bangsa rendah dan bodoh. Ketika ia menjadi pribumi terdidik, kalangan Belanda menerima kehadirannya diantara mereka dengan baik, namun justru ketika ia menikah dengan wanita Belanda dan mempersamakan haknya dengan orang Belanda, dengan kata lain pindahlah kewarganegaraannya menjadi bangsa Belanda, ia dinilai takabur dan besar kepala oleh bangsa Belanda sehingga keluarga campuran tersebut tersisih dari pergaulannya baik dikalangan orang Belanda maupun orang Pribumi (Minangkabau) karena Hanafi  sudah memisahkan diri dari bangsa asalnya.
Dalam kasus inilah terjadi ambivalensi pada tokoh Hanafi, dimana posisinya menjadi tidak jelas. Maka makalah ini akan membahas mengenai posisi Hanafi dalam novel Salah Asuhan dan sekaligus akan mengupas unsure intrinsik novel ini secara singkat dan sederhana.

1.2   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana ambivalensi tokoh Hanafi digambarkan dalam novel “Salah Asuhan”?
1.3  Tujuan
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Dapat mengetahui gambaran ambivalensi tokoh Hanafi dalam novel “Salah Asuhan”.



BAB II
PEMBAHASAN

1.1  Biografi  Abdul Moeis
Abdul Moeis lahir pada tanggal 3 Juni 1883 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh, Sungai Puar. Seperti halnya orang-orang Minangkabau Iainnya, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang yang tinggi. Sejak masih remaja ia sudah berani meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Puiau Jawa. Bahkan, masa tuanya pun dihabiskannya di perantauan. Sastrawan yang sekaligus juga pejuang dan wartawan mi meninggal dunia di Bandung pada tanggal 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung, sehari kemudian. Ia meninggalkan dua orang istri dan tiga belas orang anak (lihat Mimbar Indonesia, No.24-25, 18 Juni 1959; Suluh Indonesia. No~211, l9Juni 1959; dan HarianAbadi, No.132, l9Juni 1959).
Abdul Moeis hanyalah lulusan Sekolah Eropa Rendah (Eur  Lagere School atau yang sering disingkat ELS). Ia memang pernah belajar di Stovia selama tiga setengah tahun (1900-1902). Namun, karena sakit, ia terpaksa keluar dari sekolah kedokteran tersebut. Pada tahun 1917 ia sempat pergi ke Negeri Belanda untuk menambah pengetahuannya.
Meskipun hanya berijazah ujian amtenar kecil (klein ambtenaars examen) dan ELS, Abdul Moeis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuan Abdul Moeis dalam berbahasa Belanda dianggap melebihi rata-rata orang Belanda sendiri (Mimbar Indonesia. No.24-25, 19 Juni 1959). Oleh karena itu, begitu keluar dan Stovia, ia diangkat oleh Mr. Abendanon, Directeur Onderwzjs (Direktur Pendidikan) pada Departement van Onderwijs en Eredienst yang kebetulan membawahi Stovia. menjadi kierk. Padahal, pada waktu itu belum ada orang prihumi yang diangkat sebagai kierk.
Pengangkatan Abdul Muis menjadi kierk tersebut ternyata tidak disukai oleh pegawai-pegawai Belanda lainnya. Hal itu tentu saja membuat Abdul Muis tidak betah bekerja. Akhirnya pada tahun 1905, setelah lebih kurang dua setengah tahun berkerja (1903-1905) ia keluar dari Depertemen itu.
Sekeluarnya dan Department van Onderwzjs en Eredienst sebagai kierk hingga akhir hayatnya, Abdul Moeis sempat menekuni berbagai macam pekerjaan, baik di bidang sastra, jurnalistik, maupun politik. Bidang pekerjaan yang pertama kali diterjuninya adalah bidang jurnalistik. Pada tahun 1905 itu juga ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik, di Bandung. Karena pada tahun 1907 Bintang Hindia dilarang terbit, Abdul Moeis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung. Pekerjaan itu ditekuninya selama lebih kurang lima tahun, sebelum ia diberrhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur) pada tahun 1912. Ia kemudian bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar (harian) Belanda yang terbit di Bandung, sebagai korektor. Hanya dalam tempo tiga bulan, ia diangkat menjadi korektor kepala (hoofdcorrector) karena kemampuan berbahasa Belandanya yang baik (Mimbar Indonesia. No.24-25, 119 Juni 1959).
Pada tahun 1913 Abdul Moeis keluar dari De Prianger Bode. Sebagai pemuda yang berjiwa patriot, ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuklah ia ke Serikat Islam (SI). Bersama dengan mendiang A.H. Wignyadisastra, Ia dipercaya untuk memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung. Pada tahun itu pula, atas imsiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Moeis (bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat) membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap maksud Belanda mengadakan perayaan besar-besaran 100 tahun kemerdekaannya serta untuk mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara (Mimbar Indonesia, No.24-25, 19 Juni 959).
Di zaman pergerakan, bersama dengan H.O.S. Cokroaminoto, Abdul Muis terus berjuang memimpin Serikat Islam. Pada tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan SI pergi ke Negeri Belanda untuk mem-propagandakan comite Indie Weerbaar.
Pada tahun 1918, sekembalinya dari Negeri Belanda, Abdul Muis terpaksa harus pindah kerja ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada tahun 1918 itu juga, Abdul Moeis menjadi anggota dewan Dewan Rakyat Jajahan (Volksraad).
Perjuangan Abdul Moeis ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Bersama dengan tokoh-tokoh lainnya, Abdul Moeis terus berjuang menentang penjajah, Belanda. Pada tahun 1922, misalnya, ia memimpin anak buahnya yang tergabung dalain PPPB (Perkumpulan Pegawal Pegadaian Bumiputra) mengadakan pemogokan di Yogyakarta. Setahun kemudian, ia pun memimpin sebuah gerakan memprotes aturan Undang-undang Pengawasan Tanah (landrentestelsel) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat (Biodata “Abdul Moeis” yang tersimpan di Perpustakaan PDS H.B. Jassin). Protes tersebut herhasil. Dan, landrentestelsel pun urung diberlakukan. Di samping itu, ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Melalui kedua surat kabar tersebut ia terus melancarkan serangannya.
Oleh pemerintah Belanda, tindakan Abdul Moeis tersebut dianggap dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. OIeh karena itu, pada tahun 1926 Abdul Moeis ‘dikeluarkan’ dan daerah luar Jawa dan Madura. Akibatnya, selama Iebih kurang tiga belas tahun (1926-1939) Ia tidak diperkenankan meninggalkan Pulau Jawa.
Meskipun tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa, tidak berarti Abdul Moeis berhenti berjuang. Ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Sayang, kedua surat kabar tersebut tidak lama hidupnya.
Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Moeis tetap aktif di dunia politik. Oleh Serikat Islam ia pada tahun 1926 dicalonkan (dan terpilih) menjadi anggota Regentschapsraad, Garut. Enam tahun kemudian (1932) ia diangkat menjadi Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).
Di masa pendudukan Jepang, Abdul Moeis masih kuat bekerja meskipun penyakit darah tinggi mulai meñggerogotinya. Ia, oleh Jepang, diangkat sebgai pegawai sociale zaken ‘hal-hal kemasyarakatan’. Karena sudah merasa tua, pada tahun 1944 Abdul Moeis berhenti bekerja. Anehnya, pada zaman pascaproklamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.
Bakat kepengarangan Abdul Muis sebenarnya baru terlihat setelah Ia bekerja di dunia penerbitan, terutama di harian Kaum Muda yang dipimpinnya. Dengan menggunakan inisial nama: A.M. ia menulis hanyak hal, salah satu di antaranya adalah roman sejarah Surapati. Konon. sebelum diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagal ‘cerita bersambung’ pada Kaum Muda.

2.2 Sinopsis Novel Salah Asuhan
Hanafi adalah laki-aki muda asli Minangkabau yang berpendidikan. Karena tumbuh dalam didikan dan linngkungan bangsa Belanda, maka ia pun memiliki pandangan kebarat-baratan dan cenderung merendahkan bangsanya sendiri. Sejak kecil is telah bertemen dan jatuh cinta kepada perempuan Belanda yang cantik, lincah dan menjadi dambaan setiap pria. Walaupun sebenarnya Corrie memiliki perasaan yang sama terhadap Hanafi, ia tidak dapat menerima cinta Hanafi karena wanita Belanda yang menikah dengan laki-laki pribumi akan keluar dari kebelandaannya. Karena itu ia menyadari bahwa persatuan keduanya pada akhirnya akan menimbulkan banyak masalah bagi keduanya. Untuk meredam perasaannya tersebut, Corrie hijrah ke Betawi untuk melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Ibu Hanafi ingin menjodohkan anaknya dengan Rapiah yang tidak lain adalah sepupunya sendiri. Perjodohan ini dilakukan karena ibunya merasa bahwa ia sangat berhutang pada kakaknya, Engku Sutan Batuah yang telah membantu membiayai sekolah Hanafi. Karena penolakkan Corrie dan bujukkan ibunya, Hanafi pun bersedia menikahi Rapiah. Namun, setelah menikah Hanafi memperlakukan Rapiah selayaknya babu bahkan setelah Rapiah memberikannya seorang anak laki-laki bernama Syafei, ia masih selalu memikirkan Corrie gadis ideal idamannya.
Hanafi kembali dipertemukan oleh Corrie ketika Hanafi harus berobat ke Betawi karena digigit oleh seekor anjing gila. Akibat pertemuan itu, benih cinta diantara mereka mulai timbul kembali dan akhirnya mereka memutuskan untuk menikah setelah Hanafi mempersamakan haknya dengan bangsa Balanda. Hanafi pun memberitahukan hal itu kepada ibunya dan memutuskan pernikahannya dengan Rapiah. Meskipum Hanafi telah menjadi seorang Belanda, dalam pergaulan dia tersisih karena dianggap besar kepala. Perkawinannya dengan Corrie pun berantakkan, hingga akhirnya Corrie harusmenenangkan diri ke Semarang. Di Semarang, Corrie terserang kholera akut dan akhirnya menutup umur di sana. Hanafi sangat terpukul dan kemudian memutuskan kembali ke kampung alamannya, namun ternyata keberpindahannya menjadi seorang Belanda membuat Hanafi tidak dapat dengan mudah diakui di kampungnya. Akibatnya, ia merasa tidak mampu menanggung beban masalah yang menimpanya dan memutuskan untuk bunuh diri dengan meminum 4 butir sublimat. Sebelum meningga, Hanafi telah menyadari kekeliruan sikapnya yang telah memandang renadah bangsanya sendiri sehingga ia berpesan kepada ibunya untuk mmemelihara anaknya, Syafei agar jangan sanpai tersesat seperti ayahnya.
2.3 Unsur intrinsik “Salah Asuhan”
          Unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan dunianya sendiri yang berberda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa unsur intrinsik terdiri dari:
a.      Tema
Tema merupakan sesuatu yang menjadi dasar cerita atau ide dan tujuan utama cerita. Tema biasanya selalu berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kehidupan sosial, cinta, ideologi, maut, religius dan sebagainya. Dalam sebuah cerita tema tidak disebutkan secara langsung tetapi melalui pemahaman dari isi cerita kita dapat menyimpulkan sebuah tema yang terdapat dalam cerita. Tema yang disajikan dalam roman ini adalah benturan budaya Barat dan Timur yang dikemas dalam permasalahan kawin campur.
b.       Latar/Setting
Latar /setting dalam sebuah karya sastra adalah keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan (Zaidan: 2007). Latar waktu dalam roman Salah Asuhan ini adalah pada saat zaman colonial Belanda dimana suasananya adalah kesenjangan budaya dan derajat bangsa yang menjajah dan yang dijajah.
1.      Solok :  tempat tinggaln Hanafi bersama ibu dan istrinya, Rafiah.
2.      Betawi : HBS tempat Corrie melanjutkan sekolah setelah tamat belajar dari sekolah rendah (h. 11)
3.      Koto Anau : kampungnya Hanafi (h. 24)
4.      Bonjol : tempat tinggal keluarga Rafiah (h. 77)
5.      Semarang : Rumah Sakit Paderi tempat Hanafi dirawat karena sakit (h. 232)
6.      Gang pasar baru jalan Gunung Sari, Jembatan Merah, Jakarta: tempat bertemunya kembali antara Corrie dengan Hanafi (h. 109).
c.  Alur
Alur merupakan tahapah-tahapan peristiwa yang dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita, sehingga membentuk suatu rangkaian cerita. Dikatakan alur karena di dalamnya ada hubungan sebab-akibat, tokoh, tema, atau ketiganya (Abdul Rozak Zaidan: 2007). Alur dapat kita perhatikan dari rangkaian-rangkaian peristiwa yang dibangunnya. Dengan demikian untuk mengetahui bagaimana alur sebuah cerita rekaan, kita perlu menyimak rangkaian peristiwa yang terdapat dalam karya yang bersangkutan, diantaranya:
1.      Tahap pengenalan
Tahap pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita yang memperkenalkan tokoh atau latar cerita. Yang diperkenalkan seperti nama, asal, ciri fisik, dan sifatnya. Tahap pengenalan dalam novel ini terdapat pada awal bab 1-3, terlihat pada kutipan berikut ini yang memperkenalkan tokoh Corrie seorang gadis bangsa Barat yang amat cantik parasnya (h. 1) dan Corrie juga merupakan gadis yang mudah bergaul (h. 20). Perkenalan tokoh Hanafi adalah seorang tokoh laki-laki golongan Bumuputra yang masuk pada golongan bangsa Eropa (h. 3). Perkenalan tokoh Tuan du Bussee ayah Corrie, seorang Prancis yang sudah pensiun dari jabatan arsitek. Di hari tuanya ia sudah hidup menyisihkan diri sebagai seorang bertapa. Tuan du Bussee juga mencari kesenangannya dengan berburu. Perkenalan semati nyonya, yaitu seorang perempuan Bumuputra di solok, yang sudah dinikahi Tuan du Bussee di gereja (h. 10).
Tahap pengenalan latar tempat dalam novel ini terdapat pada bab 1-2, terlihat pada kutipan berikut ini yang memperkenalkan latar tempat bermain tennis, yang dilindungi oleh pohon-pohon ketapang sekitarnya, masih sunyi (h. 1). Setelah Hanafi berjalan pulang, masuklah Corrie ke dalam rumah. “Dag Pak!” katanya dengan terpogoh-pogoh, setelah , masuk ke ruang tengah, tempat ayahnya sedang duduk minum teh sambil membaca Koran (h. 13).
2.      Tahap konflik atau tikaian
Tahap konflik adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita. Pada tahap konflik dimulai pada saat Corrie menolak cinta Hanafi dan Hanafi terpaksa menikah dengan Rafiah.
            Kutipan surat Corrie saat ia menolak cinta Hanafi:
“mudah-mudahan air garam yang membatasi kita, akan berkuasa melunturkan dan menyapu kenangan-kenangan atas segala sesuatunya yang terjadi di masa yang lalu. Jangan kau sangka, bahwa aku menceraikan diri dari engkau dengan masygul hati atau dengan menaruh dendam, tidak, Hanafi, hanya sedilah hatiku atas perbuatanmu hamper menjerumuskan aku ke dalam jurang itu. Jika engkau menghendaki perpindahanku juga buat masa yang akan dating, putuskanlah pertalian dengan aku, lahir-batin, dan jauhilah aku sejauh-jauhnya” (h. 57-58).
            Kutipan kalimat ketika Hanafi terpaksa menikah dengan Rapiah:
“Baiklah, Bu! Selesaikan oleh ibu. Padaku tak ada kehendak, tak ada cita-cita. Hanya patutlah ibu menjaga supaya jangan berubah aturan dahulu; bukan kitalah yang dating, melainkan dia. Perlu dijaga serupa itu; buat masa yang akan datang. Sebab perempuan itu tak akan dapatlah mengharap liefde dari padaku. Kuterima datangnya karena plicht saja (h. 71).


3.      Tahap komplikasi atau rumitan
Konflik mulai muncul pada saat Hanafi menikah dengan Corrie, lalu kemudian berkembang ketika dalam pernikahan tersebut terjadi perselisihan akibat ketersisihan mereka dari pergaulan.
4.      Tahap klimaks
Klimaks terjadi saat Corrie meninggal dunia.  Hanafi datang ke rumah sakit dan ia pun melihat Corrie yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Pada saat itulah keadaan Corrie sedang memburuk dan Hanafi ketika itu meminta maaf padanya, kutipan kalimatnya seperti: “Hanya aku yang banyak dosa kepadamu, Cor! Engkau tak ada berdosa kepadu. Sekarang engkau tak boleh meninggalkan aku! Aku tak suka engkau tinggalkan!”. Saat itu Corrie terdiam dan sempat pingsan, namun kemudian sadar kembali, lalu berkata, selamat tinggal, Han! Kita ….” (h. 229-230)
5.      Tahap krisis
Krisis terjadi saat Hanafi mulai merindukan kampung halamannya, namun ia masih belum yakin apakah ia benar-benar merindukan dan ingin kembali ke kampong halamannya, “Hanafi duduk tepukur, mengenangkan nasibnya. Alangkah senang hatinya, bila ia boleh berkubur pula di sebelah istrinya itu! Ah rindunya ke tanah airnya, keinginannya hendak bertemu, sekali lagi dengan ibunya, tidak pula tertahan-tahan. Maka terbayanglah pula segala keadaan Solok dalam kenang-kenangannya”.
6.      Tahap leraian
Tahap peleraian terlihat pada saat Hanafi memutuskan untuk pulang kembali ke kampung halamannya.
7.       Tahap penyelesaian
                        Tahap penyelesaiannya pada saat Hanafi menyadari bahwa sikapnya selama ini adalah keliru dan berpesan kepada ibunya agar memelihara anaknya supaya tidak tersesat seperti dia. Namun, karena dia merasa sangat kehilangan Corrie dan Hanafi tidak dapat hidup tanpanya, akhirnya dia bunuh diri.
D.    Tokoh dan Penokohan
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakukan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dalam novel ini yaitu Hanafi yang merupakan pemeran tokoh laki-laki dari golongan Bumiputra yang benci pada bangsanya, namun lebih dekat dan banyak bergaul dengan bangsa Barat, sehingga banyak hal yang dihilangkan olehnya termasuk adat yang sudah menjadi cirri khas Minangkabau ketika pada saat menikah  (lihat h. 75).
Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu
a.       Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral (protagonis atau antagonis). Tokoh andalan dalam novel ini adalah Corrie, Ibunya Hanafi, dan Rafiah.
b.      Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita. Tokoh tambahannya adalah Tuan du Busse dan Piet. 
c.       Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja. Tokoh latarannya adalah Tuan dan nyonya Brom (administatur afdelingsbank), nyonya Bergan (guru sekolah), minah (teman Corrie), dokter, dukun, dan Suze (sahabat Hanafi, nona kantor pos).
Penokohan
Watak tokoh Hanafi, Corrie, ibunya dan Rafiah disajikan dengan metode analitis langsung atau diskursif yaitu memaparkan watak tokoh secara langsung.
1.      Hanafi : tokoh seorang anak  laki-laki yang keras kepala, sombong, terlalu membanggakan budaya Barat, dan mengimitasi bangsa Belanda.
2.      Corrie: merupakan gadis bependidikan yang mudah bergaul, tetapi tidak mau bergaul dengan orang Bumiputra, kecuali dengan Hanafi dan orang-orang yang serupa tabiat seperti mamanya yang pandai berbudi, yang sopan santun, dan yang mau bergaul dengan orang Eropa (h. 20).
3.      Ibu Hanafi : seorang ibu yang sangat sabar dalam mendidika anaknya yang beringas dan tidak ada kesopan santunannya itu. Padahal pada mulanya yang diharapkan ibunya itu Hanafi menjadi anak yang berpedidikan yang pandai, dan dapat melebihi kaum keluarganya dari kampong (h. 24).
4.      Rafiah : selain pandai memasak, menjahit, dan , merenda. Rafiah juga berperangai baik, hati tulus, dan sabar (h. 66).
d.      Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan roman Salah Asuhan adalah sudut pandang orang ketiga yang serba tahu di dalam cerita tersebut, contohnya ada kalimat seperti ini: “ itulah yang hendak diselesaikan oleh orang tua, waktu ia memberani-beranikan hati pula bertukar pikiran dengan si anak yang durhaka itu” (h.  33).
e.       Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu terdapat pada kutipan kalimat di bawah ini:
1.      Amanat ibu Hanafi terhadapnya yaitu tidaklah ia akan berasa, bahwa dirinya sudah diperganduh-ganduhkan buat membayar utangmu pada ayahnya, karena secara adat Minangkabau yang diketahuinya ialah engkau yang harus menerima pusaka ayahnya, dan bukanlah dia, yang akan diketahuinya pula ialah bahwa engkau sudah menunjukkan murah hatimu, suka menerima dia yang bodoh serta hina menjadi istrimu. Pada hemat ibu, perkawinan yang secara itulah yang akan menyenangkan hidupmu, teristimewa karena ketinggian hatimu. Pantang kelintasan, pantang ketindihan oleh kata. Asal engkau pandai membalas budi dengan budi, selamatlah engkau seumur hidupmu  (h. 69-70).
2.      Amanat ibu Hanafi terhadapnya yaitu menjelaskan bahwa benar kata orang tua-tua, jika kail panjang sejengkal jangan lautan hendak diduga (h. 64).
Amanat dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu terdapat pada kutipan kalimat di bawah ini:
1.      Nasehat dari ayahnya, pendeknya yakinlah ia, bahwa secara pergaulan hidup dan perasaan sesama manusia sekarang, akan lebih melaratnya kawin campuran itu, daripada manfaatnya (h. 50).
2.      Nasehat ayahnya kepada Corrie pada kalimat kutipan: “Corrie! Anakku! Dengarlah baik-baik. Tadi sudah papa katakana perasaan papa, tapi di dalam hal yang sangatn penting ini buat kehidupan, wajiblah  pula kita kemukakan pikiran yang sehat (h. 19).
f.       Gaya Bahasa
Gaya bahasanya seperti ciri Balai Pustaka yang menggunakan gaya bahasanya seragam (klise), banyak mempergunakan perumpamaan, peribahasa, dan pepatah di bawah ini:
1.      Dari kecil Hanafi sudah disekolahkan di Betawi, yaitu tidak dinantikan tamatnya bersekolah Belanda di Solok, melainkan dipindahkan ke ibu kota itu, karena kata ibunya ia tidak hendak kepalang menyekolahkan anak tunggal yang sudah kehilangan ayah itu. Sebab ibunya ada di dalam berkecukupan, dapatlah ia menumpangkan Hanafi di rumah orang Belanda yang parut-parut (h. 24)
2.      “sudah lama benar ibu hendak berhandai-handai dengan engkau, tapi kulihat engkau ada dalam kesempitan saja. Saat ini, sedang air mukamu jernih, keningmu licin, bolehlah ibu menuturkan niatku  itu, supaya jangan menjadi duri dalam daging kesudahannya” (h. 26).
3.      Sejinak-jinaknya ayam, jika anaknya didekati manusia buaslah ia, hilanglah rasa takutnya kepada yang mendekati anaknya itu (h. 65).

2.4 Ambivalensi Tokoh Hanafi Dalam Novel Salah Asuhan
Modernisasi yang ditelurkan oleh budaya Barat hingga kini masih merupakan suatu hal yang menakjubkan terlebih pada masa kolonial Belanda dimana terdapat kesenjangan sebagaimana bumi dan langit antara bangsa pribumi (bumiputra) dengan bangsa Barat (Belanda). Modernisasai Barat yang dikembangkan oleh Belanda dalam politik etisnya melalui jalur pendidikan ini telah mengakari adanya permasalahan kebudayaan yang kompleks. Sebagian pribumi yang termasuk dalam golongan atas diantara bangsanya dapat menerima asupan modernitas ini dengan hangat, sebagian menolak bahkan memeranginya, dan sebagian lagi ambivalen karena terjebak diantara keputusan apakah mereka akan menerima atau menolaknya.
       Tidak dapat dipungkiri lagi, persoalan masuk dan menguatnya kebudayaan Barat yang difasilitasi oleh pendidikan pada akhirnya seringkali menjadi bagian yang sangat problematik dalam konsistensi nasionalisme pengkajinya. Seringkali pendidikan diangggap sebagai penghasil kaum terdidik yang asing di tengah masyarakatnya, dan masyarakat yang asing dengan kaum terdidiknya. Hal inilah yang dialami oleh tokoh utama dalam novel ini.
            Hanafi adalah laki-laki berdarah asli Minangkabau yang sejak berumur lima tahun telah menjadi anak piatu. Oleh ibunya Ia disekolahkan hingga menjadi lelaki pribumi terdidik lulusan HBS, semua itu juga tidak terlepas dari bantuan mamaknya di kampung. Oleh karena ibunya yang berada dalam kecukupan maka Hanafi tinggal dalam asuhan keluarga Belanda selama ia menjalankan perndidikannya. Karena sedari kecil ia diasuh dalam didikan budaya Barat maka mengalirlah dalam wataknya perangai kesombongan seorang yang merasa dekat dengan Bangsa yang dianggap tinggi itu hingga ia merasa jijik dengan kaumnya sendiri terkecuali ibunya, satu-satunya orang bumiputra yang ia anggap layak bersamanya.
            Persilisihan dan ketersisihan yang terjadi antara Hanafi dengan istri pilihannya hatinya sendiri yakni corrie membuatnya menjadi ambivalen, terlebih setelah corrie meninggal. Sebenarnya ambivalensi Hanafi secara eksplisit sudah terlihat sebelum ia menjalani perkawinan campurnya dengan Corrie yang merupakan keturunan peranakan Belanda-Pribumi, yakni ketika Hanafi merasa jengkel atas penghinaan Corrie terhadap orang Melayu.
“Tapi yang sangat dipentingkannya pula di dalam surat itu ialah suatu fasal. Meskipun disusun dengan perkataan yang sopan, adalah Corrie menghinakan orang Melayu di dalam surat itu. Ia sendiri memang tidak memandang tinggi akan derajat bangsanya, tapi, setelah Corrie pula yang berbuat demikian , naiklah darahnya”. (h. 60)
          Hanafi menganggap rendah bangsanya sendiri bahkan ia mengaku menyesal dilahirkan sebagai bangsa pribumi, akan tetapi mengapa setelah Corrie yang menghinakan bangsanya, ia menjadi marah? Hal ini tidak lain adalah karena kesadarnnya akan darah pribumi yang mengalir dalam darahnya.
         Kemudian secara implisit, sikap ambivalen Hanafi terlihat ketika ia menikahi Rafiah. Meskipun ia tidak mencintai Rafiah, calon istri yang dipilihkan oleh ibunya, Hanafi tetap menikahi Rafiah. Meskipun ia menganggap pernikahannya itu hanyalah tuntutan dari kebudayaan Minang yang dianggapnya sangat matrealistis. Sikap Hanafi sendiri kepada ibunya sangat tidak konsisten. Di satu sisi ia sangat menyayangi ibu yang telah melahirkannya, namun di sisi lain ia membenci kebodohan dan kepribumian ibunya, sehingga ia selalu bersikap dan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati sang Ibu.
         
(Makalah ini hanya ditampilkan sebagian untuk mencegah budaya plagiatisme, so just see my email at humairasmart@gmail.com, i'll give you the other piece of this paper^^)




PUSTAKA ACUAN

Moeis, Abdoel. (2009). Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka.
Agus, R. Sarjono. (2005). “Pendidikan dan Modernitas Barat dalam Sastra Dunia Ketiga” dalam Susastra, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya. Jakarta: HISKI dan Metafor Publishing.
K. S. Yudiono. (2007). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Zaidan, Abdul Rozak, dkk. (2007). Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
Murniah, Dad. Nasionalisme Dalam Sastra Indoneia. www.pusatbahasa.kemdiknas.go.id.  diakses tanggal 28 Maret 2011.
Mahayana, Maman S.. (1994). Tafsir Sejarah dalam Novel “Salah Asuhan”. http://mahayana-mahadewa.com/. Diakses pada tanggal 28 Maret 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar